PERANG
MELAWAN HAWA NAFSU BELUM USAI
Idul Fitri merupakan puncak dari
rangkaian ibadah puasa. Ketika hilal dapat dilihat di penghujung bulan Ramadhan
maka di hari itu juga seluruh umat Islam diharuskan untuk berbuka dan
melaksanakan shalat hari raya sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "La
tashumu hatta tarawul hilal wala tufthiru hatta tarauhu". Artinya:
Janganlah kalian berpuasa kecuali kalian melihat hilal (bulan) dan janganlah
kalian berbuka kecuali melihatnya (hilal)".
Demikianlah, sesuai dengan makna
harfiyahnya. Idul fitri = hari berbuka, maka di hari ini kewajiban umat Islam
menahan diri dari makan dan minum secara hawa nafsu sepanjang bulan Ramadhan
telah selesai. Bahkan puasa tepat di hari ini sama sekali tidak diijinkan atas
alasan apapun juga.
Namun apakah perang melawan hawa
nafsi telah selesai? Tentu tidak. Satu bulan puasa hanya merupakan latihan
untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi pada bulan-bulan berikutnya.
Akan tetapi dengan selesainya
kewajiban puasa, bukan berarti seluruh umat Islam bisa berpesta pora dan
meluapkan segala keinginan yang sebelumnya sempat tertahan di bulan puasa.
Karena jika hal itu terjadi maka latihan pengendalian diri selama Ramadhan
tidak berhasil dengan baik.
Terlebih lagi jika Idul Fitri
dianggap sebagai hari raya kebebasan untuk makan dan minum dan berpesta pora
maka dikhawatirkan kita akan menjadi terlampau berlebihan sehingga melanggar
larangan Allah: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A’raf 7: 31).
Dengan kata lain, dalam ayat ini,
Allah memperingatkan kita untuk hidup bersahaja dan jauh dari prilaku
konsumtif, baik dalam sandang pangan maupun papan. Tidak perlu membeli pakaian
yang mahal-mahal serta berpesta pora dalam hal makanan dan minuman.
Dalam konteks Idul Fitri kali ini,
sikap berlebih-lebihan dan konsumtif kiranya tidak seharusnya ditumbuhkembangkan.
Karena bagaimanapun juga, ibadah puasa merupakan ibadah yang ditujukan untuk
membersihkan diri dan mengendalikan keinginan kita menjadi makhluk yang
konsumeris. Sebaliknya, Ibadah puasa menyokong kita untuk merasakan
ketidakberdayaan orang-orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan makan dan
minum mereka sehari-hari.
Oleh sebab itu, tidak selayaknya
kita mengenakan pakaian yang sangat mahal ketika umat Islam yang lain
tidak dapat membelinya. Karena hal tersebut sama saja dengan memperdalam jurang
kesenjangan sosial yang di bulan puasa ingin dikikis dari kehidupan sosial
kita.
Yang seharusnya dikembangkan dalam
situasi dan kondisi bangsa dan masyarakat kita yang hidup dalam keprihatinan
ini adalah sikap kita untuk kembali kepada spirit kemanusiaan. Semangat untuk
memandang diri kita sama dengan anggota masyarakat yang lain tanpa
membeda-bedakan si kaya dan si miskin. Lebih jauh, semangat memandang diri kita
sebagai bagian dari kehidupan orang lain dan melihat kehidupan orang lain
sebagai bagian dari kehidupan kita sendiri.
Dengan demikian, maka Idul Fitri
tahun ini, dapat mempererat tali silaturrahim di seluruh lapisan masyarakat,
menekan kerakusan terhadap materi atau pola hidup konsumeristik serta
menggantikannya dengan keinginan untuk saling berbagi serta memperkukuh kembali
bangunan umat Islam sebagai satu bangunan yang utuh. Amin ya Rabbal
‘Alalamin.
* Abd. Mun’im
Alumni Universitas Islam Malang (Unisma)
Alumni Universitas Islam Malang (Unisma)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar