MEMBUDAYAKAN CINTA LINGKUNGAN
Sawli
Tuhusetya in Artikel,
Budaya,
Opini,
Pendidikan,
politik,
Refleksi,
sosial,
tradisi
Dulu, Indonesia dikenal sebagai
sebuah negeri yang subur. Negeri kepulauan yang membentang di sepanjang garis
katulistiwa yang ditamsilkan ibarat untaian zamrud berkilauan sehingga membuat
para penghuninya merasa tenang, nyaman, damai, dan makmur. Tanaman apa saja
bisa tumbuh di sana. Bahkan, tongkat dan kayu pun, menurut versi Koes Plus,
bisa tumbuh jadi tanaman yang subur.
Namun,
seiring dengan berkembangnya peradaban umat manusia, Indonesia tidak lagi
nyaman untuk dihuni. Tanahnya jadi gersang dan tandus. Jangankan tongkat dan
kayu, bibit unggul pun gagal tumbuh di Indonesia. Yang lebih menyedihkan, dari
tahun ke tahun, Indonesia hanya menuai bencana. Banjir bandang, tanah longsor,
tsunami, atau kekeringan seolah-olah sudah menjadi fenomena tahunan yang terus
dan terus terjadi. Sementara itu, pembalakan hutan, perburuan satwa liar,
pembakaran hutan, penebangan liar, bahkan juga illegal loging (nyaris)
tak pernah luput dari agenda para perusak lingkungan. Ironisnya, para elite
negeri ini seolah-olah menutup mata bahwa ulah manusia yang bertindak
sewenang-wenang dalam memperlakukan lingkungan hidup bisa menjadi ancaman yang
terus mengintai setiap saat.
Mengapa
bencana demi bencana terus terjadi? Bukankah negeri ini sudah memiliki
perangkat hukum yang jelas mengenai Pengelolaan
Lingkungan Hidup? Bukankah Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri
Pendidikan Nasional telah membangun kesepakatan bersama tentang pendidikan lingkungan hidup?
Namun, mengapa korban-korban masih terus berjatuhan akibat rusaknya lingkungan
yang sudah berada pada titik nadir? Siapa yang mesti bertanggung jawab ketika
bumi ini tidak lagi bersikap ramah terhadap penghuninya? Siapa yang harus
disalahkan ketika bencana dan musibah datang beruntun menelan korban
orang-orang tak berdosa?
Saat
ini agaknya (nyaris) tidak ada lagi tanah di Indonesia yang nyaman bagi tanaman
untuk tumbuh dengan subur dan lebat. Mulai pelosok-pelosok dusun hingga
perkotaan hanya menyisakan celah-celah tanah kerontang yang gersang, tandus,
dan garang. Di pelosok-pelosok dusun, berhektar-hektar hutan telah gundul,
terbakar, dan terbabat habis sehingga tak ada tempat lagi untuk resapan air.
Satwa liar pun telah kehilangan habitatnya. Sementara itu, di perkotaan telah
tumbuh cerobong-cerobong asap yang ditanam kaum kapitalis untuk mengeruk
keuntungan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Polusi tanah,
air, dan udara benar-benar telah mengepung masyarakat perkotaan sehingga tak
ada tempat lagi untuk bisa bernapas dengan bebas dan leluasa. Limbah rumah
tangga dan industri makin memperparah kondisi tanah dan air di daerah perkotaan
sehingga menjadi sarang yang nyaman bagi berbagai jenis penyakit yang bisa
mengancam keselamatan manusia di sekitarnya.
Sebenarnya kita bisa banyak belajar
dari kearifan lokal nenek moyang kita tentang bagaimana cara memperlakukan
lingkungan dengan baik dan bersahabat. Meski secara teoretis mereka buta
pengetahuan, tetapi di tingkat praksis mereka mampu membaca tanda-tanda dan
gejala alam melalui kepekaan intuitifnya. Masyarakat Papua, misalnya, memiliki budaya dan
adat istiadat lokal yang lebih mengedepankan keharmonisan dengan alam. Mereka
pantang melakukan perusakan terhadap alam karena dinilai bisa menjadi ancaman
besar bagi budaya mereka. Alam bukan hanya sumber kehidupan, melainkan juga
sahabat dan guru yang telah mengajarkan banyak hal bagi mereka. Dari alam
mereka menemukan falsafah hidup, membangun religiositas dan pola hidup seperti
yang mereka anut hingga kini. Memanfaatkan alam tanpa mempertimbangkan
eksistensi budaya setempat tidak beda dengan penjajahan. Namun, sejak
kedatangan PT Freeport Indonesia, keharmonisan hubungan masyarakat Papua dengan
alam jadi berubah. Saya kira masih banyak contoh kearifan lokal di daerah lain
yang sarat dengan pesan-pesan moral bagaimana memperlakukan lingkungan dengan baik.
Namun, berbagai peristiwa tragis
akibat parahnya kerusakan lingkungan sudah telanjur terjadi. “Membangun tanpa
merusak lingkungan” yang dulu pernah gencar digembar-gemborkan pun hanya slogan
belaka. Realisasinya, atas nama pembangunan, penggusuran lahan dan pembabatan
hutan terus berlangsung. Sementara itu, hukum pun makin tak berdaya menghadapi
para “bromocorah” lingkungan hidup yang nyata-nyata telah menyengsarakan jutaan
umat manusia. Para investor yang nyata-nyata telah membutakan mata dan tidak
menghargai kearifan lokal masyarakat setempat justru dianggap sebagai
“pahlawan” lantaran telah mampu mendongkrak devisa negara dalam upaya mengejar
pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa.
Meskipun demikian, hanya mencari
“kambing hitam” siapa yang bersalah dan siapa yang mesti bertanggung jawab
terhadap kerusakan lingkungan hidup bukanlah cara yang arif dan bijak.
Lingkungan hidup merupakan persoalan kolektif yang membutuhkan partisipasi
semua komponen bangsa untuk mengurus dan mengelolanya. Pemerintah, tokoh-tokoh
masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semua warga masyarakat, dan
komponen bangsa yang lain harus memiliki “kemauan politik” untuk bersama-sama
menjaga kelestarian lingkungan hidup dari ulah tangan jahil para preman dan
penjahat lingkungan. Hal itu harus dibarengi dengan tindakan hukum yang tegas
terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup yang nyata-nyata telah terbukti
menyengsarakan banyak umat manusia. Pedang hukum harus benar-benar mampu
memancung dan memenggal kepala para penjahat lingkungan hidup untuk memberikan
efek jera dan sekaligus memberikan pelajaran bagi yang lain.
Yang
tidak kalah penting, harus ada upaya serius untuk membudayakan cinta lingkungan
hidup melalui dunia pendidikan. Institusi pendidikan, menurut hemat saya, harus
menjadi benteng yang tangguh untuk menginternalisasi dan menanamkan nilai-nilai
budaya cinta lingkungan hidup kepada anak-anak bangsa yang kini tengah gencar
menuntut ilmu. Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat perlu terus
digali dan dikembangkan secara kontekstual untuk selanjutnya disemaikan ke
dalam dunia pendidikan melalui proses pembelajaran yang aktif, inovatif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pola dan gaya penyajiannya pun tidak
bercorak teoretis dan dogmatis seperti orang berkhotbah, tetapi harus lebih
interaktif dan dialogis dengan mengajak siswa didik untuk berdiskusi dan
bercurah pikir melalui topik-topik lingkungan hidup yang menarik dan menantang.
Lingkungan
hidup yang disemaikan melalui dunia pendidikan tidak harus menjadi mata
pelajaran tersendiri, tetapi disajikan lintas mata pelajaran melalui
pokok-pokok bahasan yang relevan. Dengan kata lain, lingkungan hidup tidak
cukup hanya menjadi tanggung jawab guru Geografi atau IPA saja, misalnya,
tetapi harus menjadi tanggung jawab semua guru mata pelajaran.
Mengapa
budaya cinta lingkungan hidup ini penting dikembangkan melalui dunia
pendidikan? Ya, karena jutaan anak bangsa kini tengah gencar menuntut ilmu di
bangku pendidikan. Merekalah yang kelak akan menjadi penentu kebijakan mengenai
penanganan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Menanamkan nilai-nilai
budaya cinta lingkungan hidup kepada anak-anak bangsa melalui bangku pendidikan
sama saja menyelamatkan lingkungan hidup dari kerusakan yang makin parah. Dan
itu harus dimulai sekarang juga. Depdiknas yang memiliki wewenang untuk
menentukan kebijakan harus secepatnya “menjemput bola” agar dunia pendidikan
kita mampu melahirkan generasi masa depan yang sadar lingkungan dan memiliki
kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Nah,
bagaimana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar