PEMBENTUKAN AHKLAK MULIA
Duhai saudariku muslimah-semoga
Allah merahmatiku dan juga kalian semua-, istilah akhlak mulia bukanlah hal
asing bagi kita. Hal itu karena akhlak mulia merupakan cita-cita yang
diharapkan terwujud di setiap pribadi manusia. Tak ubahnya dengan angan-angan
yang senantiasa terbayang dan diimpi-impikan setiap insan, akhlak mulia akan
senantiasa terkenang dan tak usang dimakan peradaban. Ia akan senantiasa
dinantikan sebagai penghias karakter seluruh generasi di segenap masa. Ia pun
didoktrinkan kepada anak-anak agar menjadi kebiasaan di saat dewasa hingga usia
senja. Oleh karena itulah, terasa demikian penting bagi kita untuk mengkajinya
meskipun berulang-ulang.
Mengubah Cara Pandang yang Salah
Duhai saudariku muslimah, kebanyakan
orang beranggapan bahwasannya akhlak mulia itu identik dengan interaksi sesama
manusia dalam lingkungannya. Akibatnya, ada yang berpemikiran bahwa inti akhlak
mulia dalam agama islam itu adalah interaksi bergaul atau mu’amalah dengan
sesama manusia secara baik, dengan tidak melakukan tindakan yang menyebabkan
kerugian bagi orang lain.
Mereka pun berpandangan bahwasannya
kejahatan terbesar adalah tindakan yang merugikan orang lain. Adapun tindak
kesyirikan, kekafiran, bid’ah, menyembelih hewan untuk tumbal, menyediakan
kembang dan kemenyan untuk sesaji, membaca zodiac dan ramalan bintang dan
mempercayainya, menyia-nyiakan shalat dan ibadah lainnya, dianggap oleh mereka
sebagai perkara pribadi yang tak perlu dipermasalahkan dan tak sepantasnya
mendapat teguran, karena menyangkut hak asasi manusia yang menuntut untuk
dihargai privasinya. Mereka menilai bahwa teguran hanyalah untuk pelaku tindak
kriminal, koruptor dan orang yang mengambil hak orang lain atau orang yang
menyakiti tetangga.
Padahal, akhlak mulia merupakan aset
berharga yang seharusnya diterapkan pula dalam hal hubungan manusia dengan Sang
Pencipta. Bahkan, hendaknya mereka sadar bahwa dampak kesyirikan yang
diremehkan sebagai bentuk akhlak buruk kepada Allah Sang Pencipta adalah tidak
adanya ampunan Allah untuk mereka, kecuali jika mereka bertaubat.
Sadarilah, bahwa tidak mendapat ampunan Allah berarti kita akan dimasukkan ke dalam neraka yang penuh derita dan duka yang kekal selamanya. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya:
Sadarilah, bahwa tidak mendapat ampunan Allah berarti kita akan dimasukkan ke dalam neraka yang penuh derita dan duka yang kekal selamanya. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya:
“sesungguhnya Allah tidak mengampuni
dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain
syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa: 116).
Sebaliknya, tak jarang pula manusia
yang beranggapan bahwa akhlak Islam adalah sekedar menunaikan hak Allah Sang
Pencipta tanpa perlu menunaikan hak sesama manusia. Padahal menunaikan hak
sesama merupakan bagian dari menunaikan hak Allah Sang Pencipta. Allah lah
tempat kita memohon pertolongan dari kerancuan berpikir semacam ini.
Meskipun demikian keadaannya,
sebenarnya tak kita pungkiri pula adanya bentuk kepedulian terhadap penerapan
akhlak mulia yang mencakup kedua aspek tersebut, yang telah dapat kita rasakan
dengan munculnya istilah hablum minannaas dan hablum minallaah.
Istilah ini dapat kita temukan
ketika di kajian-kajian yang tersebar di negeri kita ini. Mengenai maknanya
secara bahasa, kita serahkan kepada ahlinya dan saat ini kita lebih menekankan
kepada maksudnya yaitu istilah hablum minannaas, artinya yang terkait
dengan sesama tetangga dan sesama manusia.
Adapun hablum minallaah dimaksudkan untuk hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Adapun hablum minallaah dimaksudkan untuk hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Dinasehatkan pula bahwasannya
penerapan kedua hal tersebut hendaknya berimbang di dalam kehidupan kita. Namun
sayangnya, istilah hanya tinggal istilah saja tanpa kesan mendalam di dalam
dada. Hal itu disebabkan hubungan tersebut hanya dianggap sekedar mengingat
nama dan tegur sapa jika terkait dengan sesama manusia dan sekedar dzikir,
shalat, puasa, zakat, haji jika terkait dengan Sang Pencipta. Berawal dari
sinilah kita bertolak menuju cara pandang yang benar bahwa hubungan dengan
sesama manusia (hablum minannaas) memerlukan etika demikian pula
hubungan manusia dengan Sang Pencipta (hablum minallaah) juga memerlukan
etika yang baik dan benar.
Etika yang baik dan benar dalam
kedua hubungan tersebut perlu diterapkan dalam kehidupan kita dalam wujud
akhlak mulia. Akhlak mulia dalam hubungan sesama manusia inilah akhlak mulia
kepada makhluq dan akhlak mulia dalam hubungan dengan Allaah selaku Sang
Pencipta makhluq dinamakan akhlak mulia kepada khaliq.
Akhlak Mulia adalah Cerminan Iman di
Dada
Duhai saudariku muslimah, bagaimana pula seseorang memisahkan antara iman dan akhlak sedangkan terdapat hadits Rasulullaah Shallallaah ‘alaih wa sallam yang artinya:
Duhai saudariku muslimah, bagaimana pula seseorang memisahkan antara iman dan akhlak sedangkan terdapat hadits Rasulullaah Shallallaah ‘alaih wa sallam yang artinya:
“Kaum mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka.” (HR. At Tirmidzi).
Tentunya pemisahan itu adalah hal
yang tak mungkin dan menyulitkan, sedangkan dalam pelajaran yang bisa
didapatkan di madrasah-madrasah saja terdapat materi aqidah akhlak dalam satu
paket buku rujukan. Hal itu seakan memperkuat bahwa aqidah yang merupakan
bentuk iman yang terdapat di dalam dada seseorang adalah sesuatu yang berkaitan
erat dengan akhlaknya. Dengan demikian, hendaknya kita bersemangat dan berusaha
menghiasi diri dengan akhlak mulia dalam dua aspek tersebut. Hal itu
disebabkan,
“Tidaklah beriman salah seorang
diantara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya, sesuatu yang ia cintai
untuk dirinya.” (terj. HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbaad hafizhahullaah
menjelaskan bahwa tidak sempurna keimanan seorang muslim hingga mengamalkan isi
hadits tersebut, yakni mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia suka
jika kebaikan tersebut ada pada dirinya. Kebaikan tersebut adalah meliputi
perkara dunia dan akhirat serta dalam pergaulan. Hal itu mungkin membutuhkan
kerja keras, akan tetapi yakinlah bahwa dengan kesungguhan dan kemauan serta
niat yang ikhlas untuk menggapai kebaikan dan ridha-Nya, insya Allaah akhlak
mulia bukanlah angan-angan semata dan akan dibukakan jalan keluarnya.
Ingatlah selalu motivasi ayat ini :
“Dan orang-orang yang berjihad
(bersungguh-sungguh-pen-) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (terj.QS.
Al-Ankabut: 69)
Barangkali adapula yang merasa berat
dan bergumam: “bagaimana mungkin kedua aspek akhlak mulia bisa menghiasi diriku
sedangkan masa laluku demikian suram, kebiasaan burukku demikian sulit
kutinggalkan, karena demikianlah aku dididik dari semenjak aku dalam buaian,
usiaku telah lanjut dan rambutku pun telah memutih, sering sakit-sakitan dan
kesibukanku demikian banyak serta sedikit waktu luangku untuk mengolah
kepribadian…” kemudian adapula yang tetap bermaksiat dan enggan melakukan
latihan karena beranggapan akhlak buruk itu tak dapat diubah sebagaimana bentuk
badan tak dapat diubah. Hendaknya pendapat semacam ini ditanggapi dengan
pernyataan bahwa andaikan akhlak itu menolak perubaan, tentu nasihat dan
peringatan tidaklah ada artinya.
Bagaimana engkau mengingkari
perubaan akhlak sedangkan kita sama-sama melihat anjing liar bisa dijinakkan.
Meskipun tidak dipungkiri bahwa sebagian akhlak ada yang mudah diubah dan ada
yang sulit tetapi bukan mustahil diubah. Pengubahan akhlak buruk menjadi mulia
bukan berarti mematikan akhlak tersebut sama sekali. Akan tetapi pengubahan
tersebut adalah dalam rangka membawa akhlak menuju jalan tengah. Yaitu jalan
yang sifatnya tidak tidak mengabaikan dan tidak pula berlebihan. Sebagaimana
amarah, jika berlebihan akan menjadi tercela dan harus diubah. Namun, bukan
berarti amarah tersebut dihilangkan karena diantara sifat orang yang bertaqwa
adalah dia pernah marah, namun dia tahan marahnya. Allah berfirman, yang
artinya:
“Dan orang-orang yang menahan
amarahnya.” (QS. Ali Imran: 134)
dalam ayat tersebut Allah tidak
menggunakan kata-kata “dan orang-orang yang membekukan amarahnya.”
Oleh karena itu, hentikanlah bisikan-bisikan syaitan yang membisikan kemustahilan dalam perubaan karakter buruk, akan tetapi “Berusahalah untuk melakukan yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan menjadi lemah (merasa tidak mampu-pen-)..” (terj. HR. Muslim).
Oleh karena itu, hentikanlah bisikan-bisikan syaitan yang membisikan kemustahilan dalam perubaan karakter buruk, akan tetapi “Berusahalah untuk melakukan yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan menjadi lemah (merasa tidak mampu-pen-)..” (terj. HR. Muslim).
Inilah Sejatinya akhlak Mulia
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa akhlak mulia mencakup dua aspek, yaitu: akhlak mulia kepada khaliq (sang pencipta) dan akhlak mulia kepada makhluq (sesama manusia).
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa akhlak mulia mencakup dua aspek, yaitu: akhlak mulia kepada khaliq (sang pencipta) dan akhlak mulia kepada makhluq (sesama manusia).
Pembahasan mengenai akhlak mulia
kepada makhluq sebenarnya cukup luas, hanya saja untuk kali ini kita membatasi
pada manusia sebagai makhluq sosial.
Terkait akhlak mulia kepada khaliq,
hendaknya tercakup didalamnya tiga perkara berikut:
1. Membenarkan berita-berita dari Allaah, baik berita tersebut terdapat dalam Al Qur’an ataupun disampaikan melalui lisan rasul-Nya yang mulia dalam hadits-haditsnya. Meskipun terkadang berita-berita dalam Al Qur’an dan hadits-hadits shahih itu tak sejalan dengan keterbatasan akal kita, hendaknya kita kesampingkan akal kita yang terbatas dan membenarkan berita tersebut dengan sepenuh keimanan tanpa adanya keraguan. Karena
1. Membenarkan berita-berita dari Allaah, baik berita tersebut terdapat dalam Al Qur’an ataupun disampaikan melalui lisan rasul-Nya yang mulia dalam hadits-haditsnya. Meskipun terkadang berita-berita dalam Al Qur’an dan hadits-hadits shahih itu tak sejalan dengan keterbatasan akal kita, hendaknya kita kesampingkan akal kita yang terbatas dan membenarkan berita tersebut dengan sepenuh keimanan tanpa adanya keraguan. Karena
“Dan siapakah yang lebih benar
perkataan(nya) daripada Allah?”
(QS. An Nisaa: 87)
Konsekuensi dari pembenaran tersebut
adalah hendaknya berjuang mempertahankan kebenaran berita tersebut dan tidak
roboh oleh argumen-argumen para pemuja akal yang seringkali datang menebarkan
syubhat yang meracuni pikiran.
2. Melaksanakan hukum-hukum-Nya,
meskipun terasa berat realitanya, ketika kita harus melawan hawa nafsu, akan
tetapi hendaknya kita berakhlak mulia kepada Allah dengan menjalankan hukum-Nya
dengan lapang dada dan penuh suka cita dan bukan mengharap penilaian manusia.
Misalnya, ketika kita menjalani puasa wajib menahan lapar dan dahaga bukanlah
hal ringan bagi hawa nafsu kita. Namun, akhlak mulia kepada Allah adalah dengan
menjalani hal tersebut dengan lapang dada dan ketundukan serta kepuasan jiwa.
3. Sabar dan ridha kepada
takdir-Nya, kendatipun terkadang pahit dan tak menyenangkan, hendaknya seorang
insan berakhlak mulia kepada Allah dengan kesabaran menjalani takdir tersebut
karena dibalik hal itu tentunya Allah menyimpan hikmah yang besar dan tujuan
yang terpuji.
Adapun akhlak mulia kepada makhluq,
hendaknya tercakup di dalamnya tiga hal pula:
1. Tidak menyakiti orang lain, terkait jiwa, harta dan kehormatannya. Dengan demikian tak sepantasnya memukulnya tanpa alasan apalagi membunuhnya, tak selayaknya mencuri hartanya dan tak sepatutnya mengolok-olok dan melukai perasaannya dengan panggilan buruk ataupun menggunjingnya. Perhatikanlah sabda Rasulullaah shallallaah ‘alayh wa sallam yang artinya:
1. Tidak menyakiti orang lain, terkait jiwa, harta dan kehormatannya. Dengan demikian tak sepantasnya memukulnya tanpa alasan apalagi membunuhnya, tak selayaknya mencuri hartanya dan tak sepatutnya mengolok-olok dan melukai perasaannya dengan panggilan buruk ataupun menggunjingnya. Perhatikanlah sabda Rasulullaah shallallaah ‘alayh wa sallam yang artinya:
“Sesungguhnya darah-darah kalian,
harta-harta kalian dan kehormatan-kehormatan kalian haram atas kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
kemudian sabdanya lagi yang artinya:
“Seorang muslim adalah orang yang
kaum muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari).
2. Berderma dengan memberikan bantuan
berupa materi maupun non materi (bisa berupa ilmu, motivasi, saran dan
lain-lain)
3. Bermuka manis. Hal ini hendaknya
tak dianggap remeh karena
“Janganlah engkau menganggap enteng perbuatan baik sedikit pun, meskipun (sekedar-pen-) engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri.” (HR. Muslim).
“Janganlah engkau menganggap enteng perbuatan baik sedikit pun, meskipun (sekedar-pen-) engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri.” (HR. Muslim).
Syaikh Al ‘Utsaimin berkata:
“Bermuka manis adalah menampakkan wajah berseri-seri ketika berjumpa dengan
orang lain, lawannya adalah bermuka masam. “ kemudian beliau membawakan kisah
Ibnu ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu yang ditanya tentang kebaikan maka Ibnu
‘Abbas radhiyallaah ‘anhu menjawab, “wajah yang berseri-seri dan tutur
kata yang halus.” Syaikh kemudian menyebutkan syair milik seorang penyair yang
artinya,
“Wahai anakku sesungguhnya kebaikan
itu sesuatu yang mudah
Wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang ramah”
Wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang ramah”
Meskipun demikian, bermuka manis ini
tak kemudian tanpa arahan. Hal itu karena terkadang kita perlu bermuka masam
untuk menghindari bahaya tertentu. Misalnya, ketika kita bertemu dengan seorang
yang olah bicaranya pandai dan berpengaruh tetapi dalam perkara yang buruk maka
hendaknya kita tunjukkan muka masam kita sebagai tanda ketidaksukaan kita
terhadap dirinya. Hal itu disebabkan jika kita bermuka manis padanya
dikhawatirkan kita akan terbawa pengaruhnya dan sulit melepaskan diri dari
pengaruhnya yang buruk.
Dengan demikian, kita perlu
mengingat nasehat nan berfaidah dari Imam Ibnul Qayyim Rahimahullaah
dalam kitabnya Ighatsah Al-Lahafan Min Mashayidi Asy Syaithan:
“Termasuk dari macam-macam perangkap syaitan dan tipu dayanya bahwa syaitan mengajak seorang hamba Allah kepada berbagai macam bentuk dosa dan kenistaan dengan sebab akhlak baik si hamba tersebut dan kemurahan hatinya…”
Oleh karena itu, dalam bab bermuka manis ini hendaknya kita menempatkan sesuai pada tempatnya.
“Termasuk dari macam-macam perangkap syaitan dan tipu dayanya bahwa syaitan mengajak seorang hamba Allah kepada berbagai macam bentuk dosa dan kenistaan dengan sebab akhlak baik si hamba tersebut dan kemurahan hatinya…”
Oleh karena itu, dalam bab bermuka manis ini hendaknya kita menempatkan sesuai pada tempatnya.
Duhai saudariku muslimah,
demikianlah kiranya yang bisa diuraikan. Semoga bermanfaat di dunia hingga di
akhirat yang kekal.
Syaikh As sa’dy dalam kitabnya, Bahjah
Qulubil Abrar menyebutkan pula bahwa akhlak mulia kepada makhluq adalah badzalun
nadaa (suka membantu orang lain), ihtimaalul adzaa (bersabar dengan
gangguan orang lain) dan kafful adzaa (tidak mengganggu orang lain).
Kemudian beliau menyebutkan ayat Al Qur’an yang artinya:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
dan
“Tidaklah sama kebaikan dan
kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba
orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi
teman yang setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Kemudian beliau berkata bahwa
barangsiapa yang berakhlak mulia kepada khaliq dan pula kepada makhluq, sungguh
orang tersebut telah meraih kebaikan dan keberuntungan. Wallaahu a’laam.
Duhai saudariku muslimah, dengan
iman yang kuat, tekad yang membaja dan niat yang tulus, ilmu yang bermanfaat,
amal shalih, sabar dan do’a, insya Allah akhlak mulia bisa menjadi milik kita.
Setelah itu, hendaknya kita meniatkan usaha kita menggapai akhlak mulia
tersebut hanya mengharap pahala dan menggapai ridha-Nya kemudian mengikuti
cara-cara yang dituntunkan oleh Rasulullaah shallaallaah ‘alaihi wa sallam
karena sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimaullaah dalam
kitabnya Madaarijus Saalikiin bahwasaannya,
“Pensucian jiwa lebih berat dan
lebih sulit dibandingkan pengobatan badan, barangsiapa mensucikan jiwanya
dengan latihan, usaha keras dan menyendiri tanpa ada contoh dari para Rasul
maka ia seperti orang sakit yang menyembuhkan dirinya dengan pendapatnya
semata.”
Hal itu tentunya bisa mengakibatkan
overdosis atau kurang dosisnya sehingga tujuan pengobatan pun tak tercapai. Allahul
musta’aan.
Diantara senjata seorang muslim
dalam perbaiakn akhlak adalah dengan mencari teman yang baik dan do’a. Contoh
do’a yang Rasulullaah shallallaah ‘alayh wa sallam ajarkan terkait
akhlak adalah:
اللَّهُمَّ كَمَا حَسَّنْتَ خَلْقِي
فَحَسِّنْ خُلُقِي
Allahumma kamaa hassanta khalqy,
fahassin khuluqy
“Wahai Allaah sebagaimana Engkau telah membaguskan tubuhku, maka baguskanlah akhlak ku.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ibn Hibban)
“Wahai Allaah sebagaimana Engkau telah membaguskan tubuhku, maka baguskanlah akhlak ku.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ibn Hibban)
اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بِكَ مِنْ
مُنْكَرَاتِ الأخْلاَقِ ، وَالأعْمَالِ، والأهْواءِ
Allahumma innii a’udzubika min
munkaraatil akhlaaq wal a’maal wal ahwaa-i
“Wahai Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemungkaran-kemungkaran akhlak, amal perbuatan dan hawa nafsu.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albaniy)
“Wahai Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemungkaran-kemungkaran akhlak, amal perbuatan dan hawa nafsu.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albaniy)
Akhirnya, hanya kepada Allahlah kita
hendaknya memohon pertolongan. Dan hanya kepada-Nyalah kembalinya segala pujian
yang karena nikmat-Nya sematalah menjadi sempurna segala kebaikan. Allahu
ta’alaa a’laam bish shawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar