Siapakah Yang Layak Diberi
Amanah?
Oleh
Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali
Betapa menyedihkan, tatkala sifat amanah ini telah hilang dari sebagian kaum
Muslimin, apalagi yang sudah “mengaji”.
Ketahuilah, wahai para pembaca budiman,
Sebagai seorang yang benar-benar mengaku beriman kepada Allah dan mengaku
mengikuti manhaj Salaf yang sempurna dan mulia ini, maka, perhatikanlah
baik-baik!
Karena tidak jarang kita mendapatkan khabar tentang si Fulan yang tidak
menepati janjinya … berpura-pura lupa … Si Fulan sangat menggampangkan sesuatu
yang berkaitan dengan tugasnya … Bahkan … Si Fulan telah menipu rekan bisnisnya
… Si Fulan berbohong dan tidak amanah kepada atasannya … Si Fulan menipu
ustadznya yang berbisnis dengannya … Sungguh mengherankan, sekaligus memalukan!
Wallahul Musta’an, wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Maka dengan tulisan ini, semoga menjadi penggugah, agar kita menetapi amanah
yang telah dipercayakan. Baik berkaitan dengan harta benda, sehingga menjaganya
sepenuh hati. Atau masalah tanggung jawab pekerjaan, sehingga menunaikan tugas
dengan baik dan meningkatkan etos kerja. Atau sekedar sebuah janji yang
diberikan, sehingga harus dipenuhi. Dengan menetapi amanah, kita dapat
membangun keindahan dalam bermuamalah. (Redaksi).
____________________________________________
Amanah adalah sifat mulia. Sehingga amat disayangkan jika kaum Muslimin
kehilangan sifat mulia ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala dan RasulNya
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada setiap muslim untuk
menunaikan amanah, menjelaskan akibat buruk mengabaikan dan melalaikan amanah.
Penyebab utama seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan ini adalah karena
kejahilan (kebodohan).[1]
Kebodohan seorang muslim terhadap pentingnya masalah amanah, telah membuatnya
meninggalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sangat agung ini,
sekaligus telah bermaksiat. Dan bahkan dapat menjadi dosa besar, jika seseorang
yang telah mengetahui hukumnya, tetapi justru menyia-nyiakan amanah.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, kita senantiasa berusaha keras dan
sungguh-sungguh membebaskan diri dari kejahilan, yakni dengan menuntut ilmu
syar’i secara umum, dan memahami urgensi amanah ini secara khusus, lalu
mengamalkannya. Serta tetap terus memohon dan berdoa kepada Allah Subhanahun wa
Ta'ala agar kita senantisa diberi taufiq, hidayah, dan segala kemudahan dalam
menuntut ilmu syar’i, memahaminya, serta merealisasikan syariat Islam yang
sempurna dan mulia ini dalam keseharian.
MAKNA AMANAH
Al Imam Ibnu al Atsir rahimahullah berkata, amanah bisa bermakna ketaatan,
ibadah, titipan, kepercayaan, dan jaminan keamanan [2]. Begitu juga al Hafizh
Ibnu Katsir rahimahullah membawakan beberapa perkataan dari sahabat dan tabi’in
tentang makna amanah ini. Ketika menafsirkan surat al Ahzab ayat 72, al Hafizh
Ibnu Katsir membawakan beberapa perkataan sahabat dan tabi'in tentang makna
amanah dengan menyatakan, makna amanah adalah ketaatan, kewajiban-kewajiban,
(perintah-perintah) agama, dan batasan-batasan hukum.[3]
Asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah berkata,"(Amanah) adalah segala
sesuatu yang mewajibkan engkau untuk menunaikannya” [4]. Adapun menurut asy
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah-amanah adalah, kepercayaan
orang berupa barang-barang titipan, dan perintah Allah berupa shalat, puasa,
zakat dan semisalnya, menjaga kemaluan dari hal-hal haram, dan menjaga seluruh
anggota tubuh dari segala perbuatan dosa. [5]
Sedangkan asy Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali -hafizhahullah- menjelaskan,
amanah adalah sebuah perintah menyeluruh dan mencakup segala hal berkaitan
dengan perkara-perkara, yang dengannya, seseorang terbebani untuk
menunaikannya, atau ia dipercaya dengannya. Sehingga amanah ini mencakup
seluruh hak-hak Allah atas seseorang, seperti perintah-perintahNya yang wajib.
Juga meliputi hak-hak orang lain, seperti barang-barang titipan (yang harus
ditunaikan dan disampaikan kepada si pemiliknya, Pen). Sehingga, sudah
semestinya seseorang yang dibebani amanah, ia menunaikannya dengan
sebaik-baiknya dengan menyampaikan kepada pemiliknya. Ia tidak boleh
menyembunyikan, mengingkari, atau bahkan menggunakannya tanpa izin yang
syar’i.[6]
Asy Syaikh Husain bin Abdul Aziz Alu asy Syaikh -hafizhahullah- juga
menjelaskan : “Para ulama telah berkata, hal-hal yang termasuk amanah sangatlah
banyak. Kaidah dan dasar hukumnya adalah segala sesuatu yang seseorang
terbebani dengannya, dan hak-hak yang telah diperintahkan Allah Subhanahu wa
Ta'ala agar ia memelihara dan menunaikannya, baik berkaitan dengan agama, jiwa
manusia, akal, harta, dan kehormatan harga diri". [7]
DI ANTARA DALIL-DALIL AL QUR`AN YANG MENJELASKAN TENTANG AMANAH
1. Surat an Nisaa/4 ayat 58 :
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya…"
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Tafsir al Qur’an al ‘Azhim
(2/338-339) berkata : Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengabarkan bahwa
sesungguhnya Ia memerintahkan (kepada kita) untuk menunaikan amanah kepada
pemiliknya. Dalam sebuah hadits dari al Hasan, dari Samurah, sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَدِّ
الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
"Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan
amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu".
[Diriwayatkan oleh al Imam Ahmad dan Ahlus Sunan].[8]
Ini mencakup seluruh jenis amanah yang wajib ditunaikan oleh seseorang yang
dibebani dengannya. Baik (amanah itu) berupa hak-hak Allah atas hambanya,
seperti (menunaikan) shalat, zakat, kaffarat, nadzar, puasa, dan lain-lainnya
yang ia terbebani dengannya dan tidak terlihat oleh hamba-hamba Allah lainnya.
Ataupun berupa hak-hak sesama manusia, seperti barang-barang titipan, dan yang
semisalnya, yang mereka saling mempercayai satu orang dengan yang lainnya tanpa
ada bukti atasnya. Maka, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkannya untuk
menunaikannya. Barangsiapa yang tidak menunaikannya, akan diambil darinya pada
hari Kiamat kelak.[9]
2. Surat al Anfal/8 ayat 27 :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ
وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"… Dan khianat, mencakup
seluruh perbuatan dosa, baik yang kecil maupun yang besar, baik (dosanya)
terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. 'Ali bin Abi Thalhah
berkata, dari Ibnu ‘Abbas, (tentang firmanNya) وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ ,
amanah adalah seluruh perbuatan yang telah Allah bebankan kepada hamba-hambaNya
(agar mereka menunaikannya, Pen), yaitu (berupa) kewajiban-kewajiban. Dan
maksud "janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat” adalah, janganlah kamu
menggugurkannya. Dalam sebuah riwayat, ‘Ibnu Abbas menjelaskan maksud
firmanNya: لاَ تَخُونُواْ اللهَ وَالرَّسُولَ , (janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul), dengan cara meninggalkan sunnah Nabi dan melakukan maksiat
kepada Nabi" [10]
3. Surat al Ahzab/33 ayat 72 :
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan$
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh".
Al Hafizh Ibnu Katsir t , setelah membawakan beberapa perkataan dari shahabat
dan tabi’in tentang makna amanah ini, beliau berkata: “Seluruh perkataan ini,
tidak ada pertentangan sesamanya. Bahkan seluruhnya bermakna sama dan kembali
kepada satu makna, (yaitu) pembebanan, penerimaan perintah-perintah dan
larangan-larangan dengan syarat-syaratnya. Dan hal ini, jika seseorang
menunaikannya, maka ia akan diberi pahala. Namun, jika ia menyia-nyiakannya,
maka ia pun akan disiksa. Akhirnya, manusialah yang menerima amanah ini,
padahal ia lemah, bodoh, lagi berbuat zhalim. Kecuali orang yang diberi taufiq
oleh Allah, dan Allah-lah tempat memohon pertolongan”.[11]
4. Surat al Mu’minun/23 ayat 8, atau surat al Ma’arij/70 ayat 32:
"Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya".
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (8/227)
berkata: "Maksudnya, apabila mereka dipercaya (dalam suatu urusan), mereka
tidak berkhianat. Dan apabila mereka mengadakan perjanjian, mereka tidak
menyelisihinya. Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Dan kebalikan dari
ini, adalah sifat orang-orang munafik. Sebagaimana diterangkan dalam hadits
shahih, tanda orang munafiq ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila
berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia
berkhianat. Dalam sebuah riwayat, apabila berbicara ia berdusta, apabila
berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila bertengkar ia berbuat curang.[12]
5. Surat al Baqarah/2 ayat 283:
"…Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya…".
DI ANTARA DALIL-DALIL AS SUNNAH YANG BERKAITAN DENGAN AMANAH DAN KETERANGAN
WAJIBNYA MENUNAIKAN AMANAH, SERTA AKIBAT BURUK MENYIA-NYIAKAN DAN MELALAIKANNYA
1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, yang menjelaskan wajibnya menunaikan
amanah kepada pemiliknya, ia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَدِّ الأَمَانَـةَ إِلَى
مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَـخُنْ مَنْ خَانَكَ .
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah amanah
kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan
jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu". [13]
Berkaitan dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits
ini, asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah berkata : "Perintah (di dalam
hadits ini) menunjukkan wajibnya hal tersebut” [14]. Yakni, seseorang wajib
menunaikan amanah. Sehingga Imam adz Dzahabi rahimahullah telah mengkategorikan
perbuatan khianat ini ke dalam perbuatan dosa besar. Beliau
berkata,"Khianat sangat buruk dalam segala hal, sebagiannya lebih buruk
dari sebagian yang lainnya. Tidaklah orang yang mengkhianatimu dengan sedikit
uang, seperti orang yang mengkhianatimu pada keluargamu, hartamu, dan ia pun
melakukan dosa-dosa besar (lainnya)”.[15]
2. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, yang menjelaskan salah satu tanda
hari Kiamat adalah apabila amanah telah disia-siakan, ia berkata:
بَيْنَمَا النَّـبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ
القَوْمَ، جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ، فَقَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ، فَقَالَ بَعْضُ القَوْمِ:
سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ لَمْ يَسْمَعْ،
حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْـثَهُ، قَالَ: أَيْنَ -أُرَاهُ- السَّائِلُ عَنِ
السَّاعَةِ؟ ، قَالَ: هَا أَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: فَإِذَا ضُـيِّعَتِ
الأَمَانَـةُ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ:
إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ .
"Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada dalam sebuah majelis
(dan) berbicara dengan sekelompok orang, datanglah kepadanya seorang sahabat
(dari sebuah perkampungan) dan berkata, “Kapankah hari kiamat?”. Namun
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap melanjutkan pembicaraannya, maka
sebagian orang ada yang berkata, “Ia (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
) mendengar ucapannya, namun ia tidak menyukainya”. Dan sebagian yang lain
berkata: “Bahkan beliau tidak mendengarnya,” hingga akhirnya Rasulullah selesai
dari pembicaraannya, dan beliau pun bersabda, “Mana orang yang (tadi)
bertanya?” Orang itu berkata,"Inilah saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah
bersabda,"Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat!”
Orang itu kembali bertanya,"Bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?"
Rasulullah bersabda,"Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang
bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat!" [16]
3. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anha , yang menerangkan khianat adalah
salah satu tanda-tanda orang munafik, ia berkata:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: آيـَةُ المُـنَافِقِ
ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ؛ وَإِذَا وَعَدَ أَخْـلَفَ؛ وَإِذَا اؤْتُـمِنَ
خَانَ .
"Dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda orang
munafik ada tiga : apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia
menyelisihi janjinya, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia berkhianat”
[17].
4. Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, yang menjelaskan amanah dan
menepati janji merupakan salah satu sifat orang beriman, ia berkata:
مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِلاَّ قَالَ: لاَ
إِيْـمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَـةَ لَهُ، وَلاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ .
"Tidaklah Nabiyullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami,
melainkan beliau bersabda: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki
(sifat) amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya”. [18]
Berkaitan dengan hadits ini, asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman
-hafizhahullah- berkata, “Maksud sabda beliau (لاَ إِيْـمَانَ), dikatakan oleh
as Sindi, ada yang mengatakan bahwa maksud dari kedua penafian (peniadaan)
dalam hadits ini adalah nafyul kamal (peniadaan kesempurnaan iman dan agama).
Ada yang mengatakan pula, maksudnya adalah, sama sekali tidak beriman orang
yang menganggap halal meninggalkan amanah, dan sama sekali tidak beragama
seseorang yang menganggap halal melanggar janjinya. Dan maksud dari sabda
beliau (لاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ) adalah, barangsiapa yang
mengadakan sebuah perjanjian dengan orang lain, lalu ia sendiri yang melanggar
dan tidak menepati janjinya tanpa ada ‘udzur (alasan) yang syar’i, maka
agamanya kurang. Adapun jika dengan ‘udzur (alasan yang syar’i) -seperti
seorang Imam (pemimpin) yang membatalkan perjanjian dengan seorang harbi (orang
kafir yang diperangi), jika ia melihat ada kemaslahatan padanya-, maka hal ini
boleh. Wallahu Ta’ala a’lam”.[19]
5. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu 'anhuma , yang menerangkan
salah satu tanda hari kiamat adalah datangnya sebuah zaman, yang pada saat itu,
orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan pengkhianat dianggap orang
yang amanah (jujur). Dia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ اللهَ يُـبْغِضُ الفُحْشَ وَالتَّـفَحُّشَ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِـيَدِهِ، لاَ تَـقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يُـخَوَّنَ الأَمِـيْنُ وَيُؤْتَـمَنَ
الخَائِنُ، حَتَّى يَظْهَرَ الفُحْشُ وَالتَّـفَحُّشُ وَقَطِـيْعَةُ الأَرْحَامِ
وَسُوْءُ الجِوَارِ... .
"Sesungguhnya Allah membenci (sifat) keji dan kekejian. Dan demi (Dzat)
yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidak akan terjadi hari kiamat sampai
orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan seorang pengkhianat
dipercaya, sampai muncul (sifat) keji dan kekejian, pemutusan hubungan
silaturahim (kerabat), dan buruk dalam bertetangga…".[20]
SIAPAKAH YANG LAYAK DIBERI AMANAH?
Judul di atas memberikan pemahaman, tidak semua orang bisa diberi amanah
kepercayan. Maksudnya, ada orang yang memiliki sifat-sifat tertentu, yang
dengannya ia sebagai orang yang paling tepat dan paling berhak untuk dibebani
amanah atau kepercayaan.
Asy Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr -hafizhahullah- menjelaskan
permasalahan ini dan berkata:
Dasar untuk memilih seorang pegawai atau pekerja adalah ia seorang yang kuat
dan amanah (terpercaya). Karena dengan kekuatannya, ia mampu melakukan
pekerjaan dengan baik. Dan dengan sifat amanahnya, ia akan menempatkan pada
tempatnya semua perkara yang berkaitan dengan tugasnya. Dengan kekuatannya
pula, ia sanggup menunaikan kewajiban yang telah dibebani atasnya.
Allah telah mengkhabarkan tentang salah satu dari kedua anak perempuan seorang
penduduk Madyan, ia berkata kepada ayahnya tatkala Nabi Musa Alaihissallam
mengambilkan minum untuk hewan ternak kedua wanita tersebut:
"… Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". [al Qashash/28 : 26].
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah mengkhabarkan tentang ‘Ifrit dari golongan
jin, yang memperlihatkan kesanggupannya kepada Nabi Sulaiman Alaihissallam
untuk membawa singgasana Balqis:
"…Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum
kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk
membawanya lagi dapat dipercaya". [an Naml/27 : 39].
Maknanya, ia memiliki kemampuan untuk membawa dan mendatangkannya, sekaligus
menjaga apa yang terdapat di dalamnya.
Allah juga mengkhabarkan tentang Nabi Yusuf Alaihissallam , tatkala ia berkata
kepada sang raja:
"… Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang
yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yusuf/12 : 55].
Kemudian, lawan dari sifat kuat dan amanah adalah lemah dan khianat. Sehingga,
inipun menjadi dasar atas diri seseorang untuk tidak dipilih dan dibebani
kepercayaan atau pekerjaan. Bahkan, mengharuskan untuk menjauhkannya dari
kepercayaan atau pekerjaan.
Tatkala Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu menjadikan Sa’ad bin Abi
Waqqash Radhiyallahu 'anhu sebagai gubernur di Kufah, dan kemudian orang-orang
dungu di Kufah mencelanya dan membicarakan buruk padanya, maka Umar
Radhiyallahu 'anhu melihat adanya kemaslahatan untuk menghentikan (Sa’ad bin
Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu) dari jabatan tersebut untuk menghindari fitnah.
Selain itu juga, agar tidak ada orang yang berani berbuat macam-macam padanya.
Kendatipun demikian, Umar Radhiyallahu 'anhu, menjelang wafatnya memilih enam
orang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar salah satu dari
mereka dijadikan sebagai khalifah sepeninggalnya. Salah satu dari mereka adalah
Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu. Hal ini, karena Umar Radhiyallahu
'anhu khawatir timbul prasangka, bahwa penghentiannya atas Sa’ad bin Abi
Waqqash Radhiyallahu 'anhu -dari jabatan Gubernur- disebabkan ketidakmampuannya
dalam memimpin sebuah wilayah. Dan Umar Radhiyallahu 'anhu ingin menghilangkan
anggapan itu dengan berkata:
فَإِنْ أَصَابَتْ الإِمْـرَةُ سَعْداً فَهُوَ ذَاكَ، وَإِلاَّ فَلْـيَسْـتَعِنْ
بِهِ أَيُّـكُمْ مَا أُمِّـرَ، فَإِنِّي لَمْ أَعْـزِلْهُ عَنْ عَجْـزٍ وَلاَ
خِيَانَةٍ
"Jika kekuasaan ini terjatuh pada Sa’ad, maka itu memang haknya. Dan jika
tidak, maka hendaknya salah seorang dari kalian meminta bantuannya, kerena
sesungguhnya aku tidak menghentikannya dengan sebab kelemahan dan
pengkhianatan". [Diriwayatkan al Bukhari, 3700].
Dan terdapat di dalam Shahih Muslim (1825) dari Abu Dzar z , ia berkata:
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ تَسْـتَـعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ
عَلَى مَنْكِبِيْ، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّـكَ ضَـعِيْفٌ، وَإِنَّـهَا
أَمَانَـةٌ، وَإِنَّـهَا يَوْمَ القِـيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ
أَخَذَهَا بِحَـقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَـيْهِ فِيْهَا .
"Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu
Rasulullah memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda,"Wahai, Abu Dzar.
Sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, dan ia
merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang
mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)".
Terdapat pula di dalam Shahih Muslim, 1826, dari Abu Dzar, sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَـعِـيْفاً، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ
لِـنَـفْسِيْ، لاَ تَـأَمَّـرَنَّ عَلَى اثْـنَـيْنِ، وَلاَ تَوَلَّـيَنَّ مَالَ
يَـتِـيْمٍ .
"Wahai, Abu Dzar. Sesungguhnya aku memandangmu orang yang lemah, sedangkan
aku mencintai untukmu seperti aku mencintai untuk diriku. Janganlah kamu
menjadi pemimpin (walaupun terhadap) dua orang (saja), dan janganlah kamu
mengatur harta (anak) yatim".[21]
Mudah-mudahan Allah l senantiasa menjadikan kita sebagai orang-orang yang
jujur, amanah, dan menjauhkan kita semua dari kelemahan, kedustaan, dan
khianat. Hanya Allah sajalah Maha Pemberi taufiq. Wallahu a’lam bish shawab.